Jelajah Tasikmalaya (Part II): Berkunjung ke Desa Unik Kampung Naga


Perjalanan gue kali ini bertema wisata budaya. Gue mengunjungi sebuah desa yang namanya unik, yaitu Kampung Naga. Selain namanya yang unik, ternyata letak geografis desa ini juga unik karena dikelilingi oleh kota yang berada tepat di atasnya. Jadi intinya, Kampung Naga itu sebuah desa di bawah kota karena desa ini berada di sebuah lembah yang subur.

Suburnya desa Kampung Naga. Tanah yang subur, Sungai yang mengalir... aaahhh damainya...

Letak Kampung Naga gak jauh dari jalan raya di perbatasan kota Garut dan Tasikmalaya, tepatnya di desa Neglasari Salawu. Karena gue datang dari Galungung, perjalanan ditempuh sekitar 1 jam lebih. Kampung Naga adalah desa yang jauh dari kata modern karena masih memegang teguh dan melestarikan adat tradisi budaya para leluhurnya secara turun-temurun. Mereka gak membiarkan budaya modern masuk mencampuri budaya asli yang udah ada, walaupun mereka tetap welcome dengan adanya wisatawan yang datang berkunjung. Pernah dengar tentang Baduy? Nah, ini kurang lebih sama seperti budaya Baduy yang ada di Banten.


Sebelum memasuki area Kampung Naga, ada sebuah Tugu yang ukurannya besar yang beda dengan tugu-tugu pada umumnya, bertuliskan "Tugu Kujang Pusaka". Di dekat Tugu ini kita disambut oleh Kang Ijat, salah satu pemuda penerus Kampung Naga yang mendapat kepercayaan terpilih sebagai pemandu saat tamu-tamu dari luar datang. Selain memandu pendatang, Kang Ijat juga bertugas untuk mengarahkan tamu yang datang agar bersikap sesuai dengan aturan-aturan yang ada di Kampung Naga, misalnya gak boleh ngomong dengan suara keras, ketawa terbahak-bahak, merusak dan mengotori, dan lain sebagainya. Intinya, selama di Kampung Naga kita diharuskan untuk bersikap sopan.


Kang Ijat adalah pria keturunan asli Sunda yang dibesarkan di Kampung Naga. Orangnya ramah. Gaya bicaranya halus banget apalagi ditambah dengan logat Sundanya. Dia memakai pakaian adat tradisional Kampung Naga yang sama seperti pakaian adat Sunda pada umumnya (dengan blankon sebagai penutup kepala kalau di sunda namanya Parekos Jengkol). Kang Ijat menjelaskan, fungsi utama dibuatnya Tugu Kujang Pusaka adalah sebagai lambang kuatnya budaya Sunda yang ada di Jawa Barat. Oiya, Kujang itu salah satu senjata khas Sunda lho ya. Bisa dibilang sejenis dengan Keris.


Bukannya mendaki atau naik, menuju ke Kampung Naga kita justru  diajak untuk menuruni bukit dengan tangga yang berjumlah sebanyak 439 anak tangga. Wuaaahhh! Lagi-lagi harus ketemu tangga, hihi. Itulah kenapa dikasih nama Naga karena ternyata Naga berasal dari kata Nagawir yang artinya "kampung yang dikelilingi lembah" (kata sang guide). Tangga menuju ke desa ini dibuat meliuk-liuk mengikuti medan yang ada. Selama menuruni anak tangga, mata gue dibuat takjub dengan pemandangan yang menghampar luas di bawah. Rumah-rumah dan juga sawah-sawah milik penduduk desa terlihat berderet rapi dari kejauhan.












Kampung Naga dikenal sebagai sebuah desa yang hidup mandiri. Masyarakatnya hidup saling berdampingan dengan bergotong-royong.  Mereka bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Itu kenapa di Kampung Naga terdapat tanah yang luas dan subur yang dimanfaatkan untuk pertanian dan juga sawah-sawah. Hasil pertanian disini gak untuk dijual tapi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri. Mereka mempunyai persediaan bahan pangan seperti beras yang di simpan di lumbung padi dan digunakan untuk kebutuhan penting dalam acara-acara besar, seperti acara adat dan keagamaan. Bahkan mang Ijat bilang, persediaan beras di lumbung-lumbung itu cukup untuk anak cicit mereka nantinya. Wuih, hebat ya!

Sawah dan lumbung padi

Ladang persawahan yang subur

Rumah-rumah di Kampung Naga masih tradisional banget lho. Semua bahannya dibikin dari kayu papan yang kuat dan pastinya tahan lama, biasa dikenal dengan rumah panggung atau rumah dipan. Bangunannya tampak sederhana namun kokoh. Atapnya terbuat dari daun yang biasanya digunakan untuk sapu ijuk dan bisa tahan sampai 40 tahun sebagai pelindung panas dan hujan (atap). Posisi setiap rumah di sini di buat saling berhadapan. Filosofinya, biar setiap penghuni saling mengenal satu sama lain dan saling tegur sapa dengan tetangga saat keluar rumah. Ini dipercaya bisa menjaga silaturahmi tetap baik. Benar-benar tradisi yang unik dan patut ditiru.


Rumah-rumah yang saling berhadapan
Suasana Kampung Naga yang asri dan damai

Dapur tradisional yang eksotis

Tibalah kita di rumah tingal Kang Ijat. Kang Ijat mempersilahkan kita masuk ke dalam rumahnya untuk melihat-lihat isi yang ada di dalam. Lantai rumahnya terbuat dari papan. Rasanya benar-benar adem waktu dipijak. Ada satu ruangan yang menarik perhatian gue, yaitu dapur. Dapur yang sederhana ini masih memakai alat-alat masak yang tradisional banget. Ada tungku dan alat memasak lainnya yang entah apa namanya. Uniknya, setiap rumah di Kampung Naga gak ada kamar mandinya. Kamar mandi dibuat terpisah dari rumah karena dianggap bukan bagian dari rumah. Entah apa alasannya, menurut gue mungkin (mungkin lho ya 😃) karena kamar mandi itu tempat membuang kotoran. Jadi najis hukumnya kalo disatuin di rumah, hehe.

Ngaso dulu di depan rumah Kang Ijat

Pusat penumbukan beras dengan segala peralatannya yang tradisional (lesung)

Setelah diajak mengeksplor rumah-rumah tradisional dan isinya, kita diajak ke lokasi tempat pembuangan kotoran alias kamar mandi berada. Di sana ada kolam ikan yang luas banget. Selain itu, ada juga sebuah saung yang dibuat khusus untuk menumbuk padi namanya lesung. Saung ini menjadi pusat dan merupakan satu-satunya tempat penumbukan beras yang ada di Kampung Naga. Alat yang dipakai di tempat penumbukan beras ini juga masih tradisional banget. Biasanya, ibu-ibu warga Kampung Naga bergotong-royong untuk menumbuk beras di hari-hari tertentu. Kalo lagi numbuk beras, para ibu-ibu ini akan mengetukkan penumbuknya (nabuh lesung) secara bergantian sehinga tercipta nada seolah-olah mereka lagi memainkan alat musik sambil nyanyi. Tujuannya biar numbuk beras gak membosankan. Intinya, mereka bergotong-royong untuk memenuhi kehidupan bersama. Keren yaaaa... ^^

Souvenir-souvenir cantik hasil kerajinan tangan masyarakat
Kampung Naga untuk dijual
Mata pencaharian masyarakat Kampung Naga sebagian besar adalah bertani. Tapi untuk membantu perekonomian tetap jalan, mereka gak kehabisan akal. Mereka memanfaatkan keterampilan mereka untuk membuat kerajinan tangan yang kebanyakan terbuat dari tempurung kelapa, dan kemudian dijual sebagai souvenir atau cinderamata untuk oleh-oleh. Ada berbagai jenis souvenir lucu yang bisa lo beli saat lo berkunjung ke sini (itung-itung bantu perekonomian mereka ya ^^) diantaranya tas, topi rajut, sendal dan selop, gelang-gelang, miniatur mobil dan motor, dan gantungan kunci. Ada juga kaos bertuliskan "Kampung Naga". Harganya? Terjangkau banget! Gue memilih membeli beberapa gantungan kunci lucu yang bertuliskan Kampung Naga buat oleh-oleh di rumah, hehe.

Ada perasaan damai yang dirasakan saat mengeksplor tempat ini. Rasanya seperti kita lagi ada di sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk dan keramaian kota. Padahal jelas banget kalau di atas kita itu kota. Dari sini gue belajar, kalau kehidupan di sini adalah kehidupan yang penuh keharmonisan dengan segala aturan-aturannya yang baik, kehidupan yang sederhana tapi serba berkecukupan. Intinya kehidupan di sini adalah kehidupan yang penuh kesederhanaan yang ada di tegah-tengah modernisasi dan gak termakan oleh zaman.

Buat lo yang rindu suasana desa, inilah tempat yang pas. Lo akan ketemu dengan masyarakat yang ramah-ramah juga di sini. Penasaran untuk berkunjung ke Kampung Naga? Ini dia tips-tips dari gue buat yang mau berkunjung ke sini!

Tips Mengunjungi Kampung Naga:


  • Gunakan guide lokal (seperti mang Ijat). Ini benar-benar disarankan karena selain untuk menunjukkan arah, juga bertujuan untuk pengawasan karena di Kampung Naga ada beberapa lokasi yang keramat (boleh atau gak boleh untuk di datangi atau di foto). Selain itu, agar kita gak melanggar aturan dan larangan yang berlaku di Kampung ini
  • Pakai pakaian yang sopan untuk menghargai masyarakat di Kampung Naga
  • Berlaku sopan seperti gak merokok selama di dalam kampung ini, gak buang sampah sembarangan, gak tertawa atau bicara dengan suara keras
  • Bawa uang secukupnya untuk membeli beberapa souvenir yang dijual di sini
Selesai mengeksplor Kampung Naga, gue dan rombongan menyudahi kunjungan ini. Kalau pas kedatangan kita gak perlu ngos-ngosan naik tangga, kali ini kita mau gak mau harus naik untuk sampai ke atas dan melanjutkan perjalanan pulang. Perjuangan mulai terasa karena harus menaiki ratusan tangga yang tadi dilewati, hihi. 

PISANG RANGGAP

Setelah 30 menit, akhirnya kita sampai di lokasi tempat Tugu tadi berada. Ada banyak ibu-ibu dan juga bapak-bapak yang datang mengerumuni menawarkan oleh-oleh khas Tasikmalaya, seperti dodol coklat, sayur-sayuran segar, dan wow! Ini dia yang paling menarik perhatian gue. Pisang raksasa! Pisang dengan ukuran hampir sebesar buah pepaya ini adalah pisang khas Galunggung. Warga sini menyebutnya Raja pisang dari Galunggung. Haha saking besarnya sampai-sampai dikasih nama raja lho. 😁 Saking heran dan kagumnya, Gue pun gak berhenti bertanya tentang pisang ini. Sumpah, seumur hidup baru kali ini gue ngelihat pisang raksasa. Norak banget ya gue, hihi. Dari hasil penasaran gue akhirnya gue tau beberapa hal mengenai pisang ini. Asal muasal tumbuh dan berkembangnya pisang ranggap ini ada di sekitar gunung Galunggung. Baru ditemukan setelah meletusnya gunung Galunggung (katanya sih). Ukurannya sekitar 30 cm dengan diameter 7 cm dan berat sekitar 1/2 kg. Kebayang kan gedenya kaya gimana? 😃 Pisang ini gue beli seharga Rp 3000,- per buahnya. Karena berat dan gak muat lagi untuk dibawa pulang, gue cukup beli 3 buah aja untuk oleh-oleh dirumah (biar pada kaget dibawain pisang raksasa, hihi).  

Oleh-oleh khas Galunggung dan Tasikmalaya. Pisang Raksasa dan Chocodot alias coklat dodol

Itu dia perjalanan gue selama di Tasikmalaya. Sebenarnya masih ada banyak lokasi indah yang bisa di eksplor di sini, sayang waktu gak memungkinkan lagi. Jadi, sampai ketemu di Tasikmalaya di trip selanjutnya! 



















Comments